“Pembuatan kain sarung Donggala di Kabonga cukup lama berjalan hingga beberapa generasi termasuk dari keluarga saya pernah memiliki usaha tersebut. Dari zaman nenek saya itu sudah menjadi pengrajin kain yang kemudian turun ke ibu saya dalam waktu cukup lama hingga dilanjutkan oleh kakak saya sekaligus generasi terakhir. Begitu meninggal dunia dengan sendirinya industri tenun ikut mati, tidak ada lagi generasi yang melanjutkan.”
Cerita itu diungkapkan Abubakar Aljufri (60 tahun) seorang tokoh masyarakat di Kabonga, Kecamatan Banawa yang ditemui belum lama ini. Kakak dari Abubbakar Aljufri yang dimaksud adalah almarhumah Gamar Hi. M. Aljufri yang pernah malang-melintang di dunia pertenunan selama puluhan tahun. Pada masanya, warisan yang diperoleh dari neneknya itu cukup paripurna, dari memintal, mewarnai, membuat motif hingga menenun sampai jadi lembaran sarung.

“Kakak saya itu memiliki keterampilan sempurna sekaligus motivator bagi penenun lain dalam kelompok binaannya. Bahkan memiliki jaringan ke berbagai kelompok tenun yang ada di Jawa hingga ke Philipina untuk saling belajar dan ikut pameran,” kenang Abubakar.
Menurutnya ada puluhan penenun yang pernah dipekerjakan sang kakak di Kabonga baik warga setempat maupun dari Salubomba dan Towale. Saat itu dekade 1980-an pemasaran tidak ada kendala berapa pun yang diproduksi karena Ibu Gamar memiliki jaringan cukup luas bukan saja dengan toko-toko kain tenun tapi hingga ke kalangan pejabat sering memesan kain untuk berbagai keperluan. Usaha tenun milik keluarga Abubakar Aljufri mulai macet sejak awal dekade 2000-an hingga kini. Sejak tidak ada lagi sentra tenun, maka beberapa penenun kemudian memilih jadi TKW di Arab Saudi dan sebagian ada yang masih menenun di Towale dan Salubomba. Praktis sejak itu peralatan tenun terbengkalai, kini tinggal disimpan di gudang belakang rumah Abubakar Aljufri. Peralatan itu menunjukkan bukti-bukti kejayaan pertenunan yang pernah bergairah di Kabonga beberapa waktu lalu. Semua tinggal kisah kenangan sekaligus catatan yang tersisa dapat dibaca di buku Kain Tenun Donggala (1980) tulisan Suwati Kartiwa, antropolog ahli tenun dari Jakarta. Buku ini memuat informasi dari Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Provinsi Sulawesi Tengah tahun 1980, menyebut Kampung Kabonga ketika itu memiliki sentra tenun sebanyak 75 unit alat. Semuanya berupa alat tenun tradisional, gedogan yang dikelola warga setempat dengan hasil setiap bulan mencapai 90 lembar kain.

Dari sisi peralatan dan produksi menunjukkan sentra tenun Donggala di Kabonga masa itu merupakan yang terbesar di antara tujuh sentra utama tenun di Sulawesi Tengah. Bila dibanding dengan sentra tenun saat ini belum menyamai jumlah produksi secara rutin seperti masa lalu. Pada masanya di Kabonga ada lima penenun cukup melegenda, antara lain Jenma Pagaluma, Gamar Hi. M.Aljufri, Taira Yutu, Hatija Derahi, Majijira Derahi dan Inadia Derahi. Selain itu beberapa nama tak tercatat membuat kain secara mandiri di rumah masing-masing.
Pada periode yang sama setelah Kabonga memiliki sentra tenun terbanyak, disusul Kayumalue (kini Palu Utara) saat itu memiliki 60 unit alat tenung gedogan. Sedangkan di Wani yang cukup lama tradisi itu hadir pernah memiliki 50 unit alat, disusul Tawaeli 40 unit dan Salubomba (Banawa Selatan) saat itu memiliki 15 unit alat serta 10 unit di Watusampu (Palu). Sisanya beberapa unit berada di Lero dan Labuan. Tempat-tempat tersebut saat ini semuanya sudah berubah dan berkurang aktivitas penenun termasuk di Wani dan Watusampu mengalami penurunan disbanding beberapa tahun silam. (JAMRIN AB)